![]() |
koleksi pribadi |
Duduk termenung di depan rumah. Menikmati sepoi
angin pagi membelai lembut permukaan kulit. Mencium harus segar rerumputan,
dedaunan, dan embun yang menyatu. Damai. Beberapa orang berpakaian dinas
berjalan pelan melewati pelataran rumah. Lengkap dengan caping dan baju yang
lusuh, mereka bersiap mencari nafkah. Kantor dinas mereka, persawahan di depan
kampung sana.
Mataku mengekor pada langkah kaki santai para buruh
tani itu. Ini adalah pemandangan yang tak pernah berubah semenjak aku lahir dan
tumbuh di sini delapan belas tahun silam. Suatu keadaan social yang bisa
disebut stagnan. Para buruh tani berjalan santai menuju sawah tempat mereka
mengadu nasib.
Pesatnya perkembangan jaman memang tidak banyak
menyentuh kehidupan masyarakat di kampungku. Teknologi yang disebut-sebut era
ini berkembang cepat juga tetap tidak banyak mengubah sendi-sendi kehidupan
yang ada. Justru yang nyangkut malah dampak negatifnya berupa cultural shock atau gegar budaya. Yaitu
suatu keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang belum memiliki kesiapan
diri dalam menyambut budaya asing atau budaya luar yang masuk. Akibatnya
terjadilah suatu kondisi dimana jiwa atau mental seseorang atau sekelompok
orang tersbut terguncang. Semua itu karena mereka belum siap menerima unsure-unsur
baru ada di masyarakat yang datang dengan tiba-tiba. Pada akhirnya semua itu
mempengaruhi kehidupan social mereka.
Kenakalan remaja misalnya. Di kota-kota besar
kebiasaan mabuk-mabukan, perputaran narkoba, free sex seakan menjadi fenomena
lazim yang menjadi sisi lain kehidupan metropolitan. Akan tetapi pada
kenyataannya hal tersebut juga bisa terjadi di daerah pedesaan seperti di
lingkungan tempat tinggalku. Fenomena hamil di luar nikah, mati karena miras
oplosan, bahkan perputaran narkoba juga terjadi di sini. Suatu kesalahan besar
ketika dulu saya sempat berpikir bahwa masyarakat desa masih polos, karena pada
kenyataannya gempuran modernisasi negative justru sangat keras mempengaruhi
kehidupan generasi muda yang tumbuh di pedesaan dengan minimnya jalur
komunikasi informasi.
Minimnya informasi membuat mereka cenderung mudah
kagum dengan hal-hal baru dan berakibat pada sikat imitative yaitu meniru
sesuatu yang diperkenalkan oleh kaum urban dari kota. Buruknya, mereka
cenderung tidak menyaring pengaruh tersebut tapi menelannya mentah-mentah dan
akhirnya terjadilah kenakalan remaja ataupun kerusakan moral.
Pikiran yang polos memang baik, akan tetapi
kepolosan seseorang apalagi yang masih dalam usia remaja sangat rentan terhadap
pengaruh sekitarnya. Maka dari itu teknologi komunikasi sangat penting untuk
masuk ke pelosok-pelosok negeri seperti di daerah saya. Tapi semua itu juga
butuh untuk diawasi karena teknologi canggih itu juga memiliki dua sisi baik
buruk yang erat seperti dua sisi uang
logam. Jadi bila hanya ada teknologi saja itu tidak cukup. Di butuhkan tenaga
ahli yang mau membimbing dan mengajari yang baik dan yang buruk.
Kondisi inilah yang memancing nurani saya. Yang saya
rasakan sekarang adalah serupa kegalauan social berkepanjangan. Dimana sejauh
mata saya memandang saya menemukan banyak hal-hal yang tak terduga dan
menampilkan potensi destruktif di masa mendatang.
Realita social di kampong saya di pojok tenggara
Kabupaten Magelang menggelitik pikiran. Di sini, di tempat yang bisa dibilang
jauh dari pusat kota, sepi, damai, dan hijau. Dimana alam masih setia menjadi
komoditas utama pemenuh nafkah, saya menemukan kenyataan bahwa teknologi dan
informasi belum seimbang masuk ke daerah ini. Memang benar jaringan internet
dan sinyal telepon seluler lancar di sini. Akan tetapi media cetak seperti buku
bacaan, majalah, bahkan korang masih jarang ditemui. Setiap pagi saya duduk di
beranda rumah berharap ada loper Koran bersepeda ria dan menawarkan
dagangannya, tapi tak pernah terpenuhi impian saya itu.
Jadi yang menjadi penyebab galau utama saya adalah
rendahnya minat baca masyarakat dan kurang terbukanya akses media di kampong
ini. Sebab, meskipun hampir setiap rumah sudah memiliki televisi, namun saya
yakin notabene masyarakat kampong ini lebih senang menyaksikan acara sinetron
di banding berita. Lalu informasi yang ada di Koran juga biasanya lebih
beragam, namun ketidak terjangkauan daerah membuat masyarakat seakan hidup
seperti seekor katak dalam tempurung. Hidup dengan dunianya sendiri.
![]() |
google.com |
Saya merasa prihatin dan geregetan dengan diri saya
sendiri. Ketika saya tinggal di rumah kos di Jogja sana dan mampu
bersosialisasi dalam berbagai organisasi, saya merasa memilik arti. Akan tetapi
di tanah kelahiran saya sendiri, saya seperti mati. Saya merasa tak patut
disebut calon intelektual muda bila saya sendiri tak bisa bergerak
berkonstribusi untuk memajukan daerah asal saya ini. Kampung Sabrangkali, Desa
Blongkeng, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang.
Rasanya tersiksa mendapati diri saya hanya berpangku
tangan tanpa aksi pasti. Oleh karena itu melalui blog ini saya ingin berbagi
dan memohon saran atau kritik dari pembaca khususnya agar mampu memberi aksi
nyata dalam memajukan daerah tempat lahir dan tumbuh saya. Agar saya bisa
berkonstribusi untuk tempat dimana hidup saya berawal.
3 komentar
silahkan melakukan hal positif untuk sabrangkali, salah satunya saran saya adalah: mari gerakkan lagi ayo mengaji setelah maghrib di mushalla, masjid atau dirumah ustad bagi anak-anak dan remaja putra dan putri yang semarak, seperti tahun 90-an. karena yang tidak mengaji malu sama teman tetapi sekarang yang tidak mengaji tak tahu malu.
BalasHapusTerima kasih sudah mampir di blog saya. Kebetulan sekarang saya sudah pindah dari kampung tersebut. Namun, meskipun pindah saya akan berusaha untuk menciptakan lingkungan seperti masa kecil saya di tempat yang baru. :) terima kasih sarannya
Hapusmaturnuwuun. Padahal lare2 mbrangkali itu perlu ada pencerahan dari orang2 yg visioner penuh ide-ide kreatif. saya juga pengin tapi sy jg sdh lama tak tinggal di sana. sungguh indah waktu kecilku di situ.
Hapus