Is it okay to share my very very personal journey? Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya saya menuliskan cerita perjalanan ini. Bukan, ini bukan tentang perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Tapi ini tentang perjalanan saya melewati satu fase dalam hidup. Tidak lain adalah perjalananku mernjadi sarjana.
Di balik tulisan seri yang saya
sendiri tidak tahu bakal tamat kapan ini –tapi semoga secepatnya- saya Cuma ingin
mengabadikan momen jatuh bangun untuk melewati fase ini dalam bentuk tulisan.
Setidaknya, dengan menuliskannya saya jadi punya arsip fisik yang bisa dibuka
lagi suatu saat nanti. Di samping itu, niatan menulis tentang hal ini semakin
kuat karena saya sendiri merasa proses menjadi sarjana yang saya alami penuh
dengan kejutan-kejutan yang syarat pelajaran hidup.
Saya jadi ingat, saya memulai
perjalanan ini setahun yang lalu. Saat itu saya baru saja balik dari KKN
(Kuliah Kerja Nyata) dan baru saja kembali bekerja sekaligus dapet klien baru
yang harus jadi tanggung jawabku. Sejauh ingatanku, waktu itu adalah salah satu
waktu tersulit yang pernah saya alami. Klien yang kutangani tipikal yang rewel
dan moody. Sementara saya sedang mulai menyusun bab 1 untuk skripsi.
Sebelum saya berada di posisi
itu, saya sering jumawa berpikir apa susahnya skripsi dan dapet gelar sarjana. Rupanya
Tuhan menegur saya. Saya diberi ujian menghadapi klien yang ribet dan terpaksa
harus sering lembur. Belum lagi konflik internal yang kadang membuat saya merasa
dipojokkan dan serba salah. Nggak heran waktu itu saya sempat berniat resign
setelah hampir setiap hari lembur, kena marah, skripsi terbengkalai, dan
tentunya nggak terhitung lagi seberapa sering saya menangis.
Sayangnya, saya nggak semudah itu
untuk mengajukan surat berhenti kerja. Sejak 2 tahun yang lalu, saya resmi
menanggung biaya hidup sendiri. Termasuk biaya kuliah hingga penelitian
skripsi. Keluar kerja dan fokus skripsi tentu bukan opsi yang baik bagi
hidupku. Saya mau makan apa kalau nggak kerja? Saya mau bayar kostan pakai apa
kalau keluar kerja? Paling parah, gimana saya bisa lulus kalau saya nggak ada
dana? Hal-hal itulah yang pada akhirnya memaksa saya untuk kuat.
Dalam kekalutan dan kebingungan saya
itu, saya inget sama omongan seorang guru pada masa lalu. Guru itu bilang ke
saya, kalau yang terjadi dalam hidup saya bisa jadi itu jalan. Jadi satu-satunya
cara ya jalanin aja, entah menyenangkan entah menyakitkan. Yang terpenting saya
selalu siap ambil hikmah di setiap perjalanan itu. Memori itu sedikit banyak
membuatku merenung dan berhenti menyalahkan Tuhan tentang nasib saya lalu
berusaha menerimanya.
Kalau ingat saat itu, saya selalu
tersenyum dan nggak menyangka masih bisa berpikir jernih hingga saat ini.
Skripsi saya belum selesai sekalipun setahun sudah berlalu. Namun semangat saya
masih besar untuk meraih gelar sarjana. Sedikit kesulitan yang saya alami di
awal perjalanan menjadi sarjana ini adalah pelajaran hidup yang nggak ternilai
harganya. And the conclusion, setiap
perjalanan itu ada hikmahnya. Baik perjalanan yang menyenangkan atau pun tidak.
Dan percayalah, setiap orang punya jalan sulitnya masing-masing. So, nggak ada alasan untuk menyalahkan
Tuhan atas nasib sulit yang menimpa kita. Hidup sudah ada yang atur!
4 komentar
Yeay!!! Nemu blognya kak Erny ^^
BalasHapusSemangat kak! Tinggal nye-krip-sweet kan? Tinggal sak-nyuk-kan (bahasa Jawa kalang kabut T.T)
christinauntari.blogspot.co.id
Hihi paham-paham arti sak nyuk an :D semoga ya habis ini segera diwisuda haha. Amin *eh malah doa sendiri*
HapusSemangat Ernyyyy! Semoga segera selesai skripsi nya dan diwisuda secepatnya yaa :)
BalasHapusAmin! Makasih Kak Ozu ;)
Hapus